Senin, 01 Juli 2019

Pengalaman Meninggalkan "dia"

*Pengalaman Meninggalkan "dia"*

Dulu saya berpikir tidak ada yang salah dengan berhutang, asalkan yang dihutangi bersedia dan  orang yang berhutang mampu membayar cicilannya.

Dulu tidak pernah terpikir , adanya selisih yang harus dibayar dalam urusan hutang tersebut .

Tidak masalah , karena seolah wajar saja , jika pemberi hutang meminta tambahan bayar berupa satu nilai selisih yang memiliki beberapa nama lain, bunga misalnya.

Toh orang yang dihutangi, tidak keberatan membayar nilai selisih , bahkan merasa berterima kasih dan sudah merasa ditolong dengan adanya pinjaman  tersebut.

Istilahnya tolong menolong, senang sama senang. Salahnya.di mana ? Bukannya malah bagus.

Akhirnya pola pikir seperti itu  membuat saya santai saja mengalokasikan sebagian penghasilan saya untuk  menyicil ini itu lengkap dengan membayar nilai selisihnya.

Pikir saya, masalahnya di mana coba, toh sy juga ada penghasilan yang ajeg setiap bulan, nggak ngrepotin orang lain.

Dulu, saat mau memutuskan membeli sesuatu, sering saya beradu argumen dengan orang terdekat saya.
Dia bilang ..sabar, kita nabung dulu baru beli.
Dan saya akan membalasnya dengan argumen2 sok logis realistis semisal :

Ayolah beli rumah , kalo gak sekarang, kapan lagi ? Harga rumah makin mahal tiap harinya, kalo ditunda tunda makin tak mampu kita.  Lagian apa ruginya beli rumah, kalo tidak mampu menyicil, tinggal jual aja . Pasti untung, gak bakal rugi

Atau
Ayolah beli mobil, yang baru aja. Enak si naik mobil gress, tinggal naik, gak usah mikir kendaraan rewel ini itu. Kalo mobil kita sehat , kita akan bisa lebih sering berkunjung ke orang tua, kerabat dan saudara di luar kota. Gak seneng apa, kalo kita bisa membahagiakan orang2 yang kita sayangi ?

Sungguh, argumen manis  dan seolah tidak ada yang salah .
Hanya satu yang tidak benar , karena ada sesuatu yang terlibat di dalamnya, yaitu dia , *riba*

Kenapa dilarang ?
Berbagai pemahaman, pengetahuan yang diberikan ke saya, seolah kalah oleh akal pikir  atau logika saya.
Perlu suatu proses bagi  lahir dan batin sy menerima bahwa itu dilarang olehNya.
Beda sekali dengan hal2 lain yang menurut sy sangat mudah diterima seperti larangan  mencuri, judi, zina dll. Jelas lah, kasat mata saja hal itu juga salah.
Tapi yang ini ..masih saja ada "kengeyelan" dalam  menerimanya. Astagfirullah

Hingga kemudian sampai pada suatu masa, orang terdekat melarang sy membeli sesuatu jika mengandung unsur selisih dalam pembayarannya.

Saya dilarang bekerja, jika  apa yang diperoleh malah membuat " miskin hati"

Saya dilarang sekolah, jika ilmu yang didapat hanya membawa pada kebodohan jiwa. 

Dia bilang, saya boleh melakukan apapun, jika apapun itu membuat sy semakin dekat padaNya dan dia melarang sy melakukan apapun, jika apapun itu hanya membuat sy melakukan larangannya.

Hingga akhirnya , saya bilang *ya* , aku mau meninggalkannya karena itu dilarang olehNya.

Dan, mulailah sy pada perjalanan baru
Perjalanan yang dimulai dengan mengambil tabungan dan melunasi hutang rumah serta
membeli segala sesuatu dengan meninggalkan unsur selisih dalam pembayarannya.

Secara kasat mata, seolah tidak ada yang berbeda. Dulu nampak baik2 saja, sekarang insyaallah juga baik2 saja.

Tapi di balik itu , ada yang beda.

Dulu, barapapun penghasilannya, serajin dan secermat apapun saya merencanakan dan mencatatnya, rasanya selaluuu kekurangan
Sepertinya kebutuhan banyak sekali .. silih berganti ..semua ngantri
Uang sebanyak apapun, mudah sekali habisnya.

Tapi setelah meninggalkan dia, semua jadi kebalikan, seperti ngetuk, nggak habis2. Rasanya semua berlebih dan berlebih.
Padahal tidak ada nominal yang berubah dari penghasilan malahan lebih kecil dari sebelumnya. Ada satu ketenangan batin yang sulit terlukiskan dengan kata2.

Wallahualam ,
semoga kita semua bisa menjadi orang yang lebih baik hari ini nya dibanding hari kemarin nya .